Rabu, 12 Agustus 2015

Kabut Itu Bernama Postpartum Depression

Kabut Itu Bernama Postpartum Depression

By : Yana Bunda Hana 


“Menikah dengan laki-laki yang mencintaiku lalu mempunyai seorang anak adalah impianku semenjak gadis. Hidup bahagia sebagai ibu rumah tangga, menyusui buah hatiku, mengurus rumah serta memasak makan malam ketika suamiku pulang kerja. Impianku begitu sederhana,seperti dongeng-dongeng karya Walt Disney, live happily ever after. Tetapi sayangnya kenyataan tidak seindah harapan, alih-alih bahagia, memiliki seorang bayi merupakan sebuah mimpi buruk bagiku. Aku bahkan lebih mirip zombie daripada seorang ibu. Ya, aku kehilangan tahun-tahun pertamaku yang seharusnya menjadi kenangan indah sebagai seorang ibu karena depresi paska melahirkan. Aku namai kabut itu dengan sebutan Postpartum Depression.”

Selamat Tinggal, Nak
Aku menikah tahun 2009. 5 tahun yang lalu aku adalah seorang guru percakapan bahasa Inggris untuk anak-anak TK, SD dan karyawan. Aku sangat mencintai murid-muridku begitu juga mereka. Aku menganggap mereka sebagai anak-anakku karena pada saat itu aku belum mempunyai anak sendiri. Aku berencana untuk resign jika aku mengandung. Keinginanku terwujud, pada tahun 2011, aku menemukan tes kehamilanku menunjukan 2 garis dan keesokan harinya aku memberikan surat pengunduran diri kepada Managerku, meninggalkan murid-murid kesayanganku guna fokus pada kehamilan yang ku nantikan selama ini.

              Aku menjalani kehamilanku dengan sukacita walau kadang aku suka merasa sedih dan cemas berlebihan. Aku menulis semua pertumbuhan janinku dari bulan kebulan di sebuah diary khusus. Aku mulai mencintai janin dalam perutku dan aku sungguh tidak sabar ingin menggendongnya. Tiba-tiba saja aku merasakan kesedihan  yang luar biasa ketika perutku tidak membesar seperti ibu hamil lainnya, saat itu aku telah hamil 6.5 bulan. Sudah lebih dari sepekan janin yang ada dalam kandunganku  tidak bergerak seperti biasanya, seminggu yang lalu aku telah kontrol ke bidan dan detak jantungnya baik-baik saja. Namun dalam hatiku terdapat sebuah firasat yang tidak dapat ku gambarkan. Karena khawatir, hari itu selasa 13 Desember 2011, aku memeriksakan kandunganku bersama suamiku. Aku mendapat nomer antrian ke 4.seperti biasa, perawat menimbang berat badanku. Anehnya berat badanku tetap sama dengan sebulan yang lalu.

            Aku dan suami memasuki ruangan dokter Tri seperti biasanya, sebelum di periksa dengan USG, dokter Tri mengeluhkan bentuk perutku yang sangat kecil.Dan pemeriksaannya pun di mulai. Betapa kaget dan pucatnya dr Tri ketika ia tidak dapat menemukan detak jantung anak dalam kandunganku. Dengan terbata-bata ia mengatakan pada ku dan suamiku bahwa “ maaf Ibu Yana, saya sangat menyesal, saya tidak dapat menemukan detak jantung anak ibu, apakah ibu jatuh?, aku bilang tidak.
“Ada apa dok?, tanyaku cemas dan pilu, dr Tri menjawab “Anak ibu telah meninggal dalam kandungan”
“masa dok. Coba cari lagi detak jantungnya”
“maaf bu, saya sudah mencobanya berkali-kali”
“saya menyarankan ibu untuk memeriksakan kembali dirumah sakit besar untuk second opinion, siapa tahu mesin USG di sini rusak.
“Aku tidak percaya saat itu dan keluar dari ruangan dokter sekan dunia akan runtuh, kakiku seakan tidak bisa berdiri, nafasku berhenti, kepiluan yang amat sangat, membuatku ingin mati saja bersamanya”
Aku pernah mendengar tentang keguguran tapi aku tidak pernah tahu IUFD itu apa. Aku pikir setelah melewati trimester pertama maka kandunganku akan baik-baik saja. Aku mati rasa, seakan-akan separuh jiwaku pergi bersamanya, aku tidak percaya atas apa yang menimpaku. Ini bagaikan sebuah mimpi buruk. Bangunkan aku, bangunkan aku!.  Tapi tidak, ini sungguh terjadi. Hatiku hancur saat itu. Aku berteriak dan histeris di rumah sakit. Dokter Anita memintaku untuk segera diinduksi supaya anak ini bisa segera dikeluarkan dan aku tidak keracunan karenanya.  Aku  berkata pada suamiku “ Jangan keluarkan anak ini, ia masih hidup..ia masih ada”

Suami dan keluargaku mencoba untuk menenangkan aku saat itu, mereka berkata bahwa aku masih sangat muda untuk mempunyai anak lagi, anak laki-lakiku sudah tenang disana. Ketakutan itu muncul lagi ketika aku hendak di beri tindakan induksi. Aku mendadak keluar dari ruangan kuretase dan berdiri di dekat sebuah jendela, aku takut melihat para ibu yang silih berganti di kuret, suara-suara gunting, pisau itu membuatku sangat merinding. Aku bahkan berpikir untuk lompat dari jendela rumah sakit saat itu juga menyusul kepergian putraku. Syukurlah dokter Anita yang menanganiku menenangkanku, memeluk dan memapahku untuk kembali ke tempat tidur. Akhirnya setelah berjuang selama 3 hari, putraku yang ku beri nama Muhammad Fauzan lahir ke dunia ini, sayang sekali bidan yang menangani kelahiranku dengan spontan tidak memperbolehkanku memeluk anakku karena kondisi jiwaku yang sangat labil. Putraku yang tidak pernah kulihat dan ku sentuh harus segera dimakamkan. Sedangkan aku masih sangat lemah sehabis melahirkan.

Setelah pulang dari rumah sakit aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak hamil lagi. Aku berpikir ini adalah sebuah hukuman dan ini merupakan kesalahanku. Aku mengutuk diriku sendiri sebagai seorang ibu yang tidak bisa menjaga anak di dalam kandunganku. Sayangnya keluarga dan tetanggaku tidak terlalu mengerti. Mereka ingin aku untuk move on sesegera mungkin. Untuk menghilangkan kenangan bersama putraku, aku memilih untuk pindah rumah dari kediaman orangtuaku dan memilih tinggal disebuah rumah kontrakan. Mencoba untuk hidup normal kembali. Kerabatku terkadang mampir ke rumah kami untuk melihat kondisiku dan mereka berkata bahwa aku sudah mulai bangkit. Mereka tidak tahu bahwa di tengah malam, aku masih sering bermimpi buruk yang sama tentang ruangan dan peralatan kuret di rumah sakit dan memanggil-manggil nama putraku ketika aku terbangun dari tidur, serta memeluk guling seakan-akan dia adalah putraku sendiri. Suamiku selalu mendampingiku di saat sulit ini, aku juga tahu bahwa ia juga kehilangan, hanya saja ia tidak pernah menunjukan kesedihannya. Pada suatu hari di dapur, aku memergoki ia menangis dan aku bertanya padanya “ Kenapa kamu menangis Ayah?,”, kemudian ia menjawab “aku juga sedih atas kematian anak kita tapi aku harus terlihat kuat untuk mendampingiku, aku mohon berhentilah menghakimi dirimu sendiri, ini bukan salahmu dan ini bukan salah siapa-siapa, jangan sakiti dirimu lagi”. Guna membuatnya tidak kecewa, aku berpura-pura di depannya, aku akan menangis jika ia berada di kantor.

3 bulan kemudian aku menemukan 2 garis di tes kehamilanku, aku sangat bahagia saat itu, satu hari setelah itu aku mengalami sesuatu yang aku pikir adalah pendarahan yang hebat dan aku sangat terpukul dan membayangkan diriku akan kembali di kuret untuk kedua kalinya. Kami berdua langsung menuju rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku. Aku sangat terkejut ketika dr kandungan mengatakan bahwa aku tidak hamil setelah di periksa dengan USG. Ia mengatakan ini sebagai kehamilan palsu atau pseudopregnancy. Menurutnya hal ini bisa terjadi lantaran diriku yang sangat ingin mempunyai anak. Pendarahan yang terjadi padaku merupakan menstruasi biasa. Guna mempunyai anak lagi kami mengikuti saran dari doketr termasuk test TORCH ACA, operasi gigi hingga meminum suplemen.

Alhamduliilah 2 bulan kemudian aku benar-benar mendapatkan kehamilan keduaku bukan hamil palsu seperti yang kemarin menimpaku. Kami sangat gembira dan antusias sekali. Suamiku membantuku mencuci pakaian dan berbelanja, yup sayangnya kehamilan keduaku ini tidak berjalan lancar. Aku mendapatkan flek-flek kecil selama 3x dan aku harus bedrest selama 2-3 bulan.




Hamil Hana

Tinggal sendirian di rumah kontrakan membuatku cemas berlebihan. Aku terus berpikir bagaimana jika...dan.., takut melihat USG, takut apabila janinku meninggal kembali dalam kandungan. Aku mengecek celana dalamku setiap jam untuk melihat apakah ada darah atau tidak. Trimester kedua nampak lebih baik daripada sebelumnya, aku dapat keluar jalan-jalan sendirian tanpa didampingi suamiku. Sayangnya pada usia kehamilanku yang beranjak 34 minggu, dokter kandunganku mengatakan bahwa plasentaku mengalami pengapuran grade 3 dan menjadi grade 4 pada usia 38 minggu. Tidak hanya pengapuran plasenta namun juga Oligohidramnion atau kekurangan cairan ketuban. Dokter kandunganku memberikan 2 pilihan yaitu persalinan dengan induksi, dimana hanya akan berhasil 50: 50 untuk menyelamatkan nyawa anakku atau operasi sesar segera. Aku berkata pada suamiku bahwa aku tidak mau melahirkan dengan cara induksi karena aku masih trauma dengan cara tersebut dan aku tidak ingin anakku meninggal lagi, aku bisa benar-benar gila bila hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Melihatku sangat panik dan tidak bisa tenang maka suamiku memutuskan untuk mengambil tindakan operasi sesar malam itu juga. Dengan segala kesabaran dan cinta, putri cantik kami yang bernama Hana Nabila lahir kedunia ini pada hari kamis, 17 Januari 2013,  pukul 08.30 malam. Tangisannya membuat suami, orangtua dan mertuaku bergembira. Wajahnya begitu mirip dengan suamiku dan matanya terlihat sepertiku. Ia diletakkan sebentar di dadaku dan tidak ada IMD. Aku merasa ia masih ingin berada di dekatku sebentar saja. Namun ada yang aneh, aku merasa hampa dan tidak antusias atas kelahirannya. Ini merupakan impianku yang terwujud bukan, akhirnya selama 3 tahun, tapi kenapa aku tidak bahagia atau setidaknya tersenyum?




Welcome to The World, Hana


Siapa AKU?

            Sekarang aku menjadi seorang new mom dan anakku adalah new born. Semua orang tertarik padanya., tetapi aku tidak dapat merasakan hal yang sama. Aku lelah kurang tidur, bingung dan letih luar biasa. Belum lagi luka sesar yang membuatku sulit untuk leluasa bergerak. Aku menangis lebih sering daripada bayiku sendiri. Aku pikir bahwa aku tidak akan memiliki kesulitan dalam menyusui karena setelah anakku meninggal aku menjadi ibu ASI buat keponakanku yang waktu itu berusia 5 bulan. Sayangnya aku tidak menemui kemudahan itu ketika menyusui Hana. Kemungkinan besar karena Hana tidak IMD dan tanpa ijinku pihak rumah sakit telah memberikan Hana susu formula dengan menggunakan botol dot. Hana mengalami apa yang namanya bingung puting. Ramai-ramai tetangga dan keluarga besarku menyarankan aku untuk memberi susu formula pada Hana, bahkan bidan yang praktek di dekat rumahku menawarkan susu formula secara terang-terangan. Suamipun saat itu tidak mendukung keputusanku untuk ngASI.

            Suatu hari kami mendatangi konsultan ASI di rumah sakit swasta, aku ingin suamiku ikut mendukung secara morill kegigihanku untuk menyusui Hana. Apa yang terjadi sangat mengagetkanku. Dr laktasi mengisyaratkan aku bahwa aku terkena baby blues syndrome karena pada saat itu tanganku bergemetar memegang Hana, sangat emosional dan sedih. Tiba-tiba saja aku teringat kakak perempuanku yang mengatakan bahwa ibu dengan baby blues syndrome merupakan ibu yang tidak bersyukur. Oleh karena itu aku tidak menggubris saran dari dr laktasi untuk pergi ke psikolog ataupun berbicara pada suamiku sendiri. Aku takut orang akan beranggapan bahwa aku ibu yang gila dan akan mengambil bayiku dari tanganku. Dengan segala daya upaya aku mencoba semua hal supaya ASIku keluar banyak dari menyewa brestpump hingga minum obat-obatan baik herbal maupun kimiawi. Usahakupun kurang berhasil, hingga aku meminta bantuan AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) via telepon. Aku melihat video di youtube bahwa seorang ibu adopsi dapat menyusui anaknya tanpa proses kehamilan. Oleh karena itu dengan meminta bimbingan salah satu konsultan ASI AIMI, aku mengajukan diriku untuk dibimbing menggunakan lactation AID karena bayiku tidak mau minum melalui dot dan beratnya hanya naik sedikit. Aku berpikr tidak apa-apa jika isi dari lactation aid tersebut adalah susu formula, aku sudah menyerah untuk sementara ini dan mementingkan bayiku. Berat badan Hana pun bertambah 1 kg dalam sebulan. Namun sayangnya susu sapi tidak cocok di tubuh Hana, Hana menjadi lebih rewel, konstipasi. Akupun memutuskan untuk mengganti susu Hana dengan susu kedelai, sayangnya kali ini tidak juga berhasil, kulit kepala Hana menjadi mengelupas hingga diare setelah minum susu kedelai. Pada saat Hana berumur 3 bulan, saat banjir melanda Hana harus dibawa kerumah sakit karena dehidrasi.

            Syukurlah seorang temanku memberikan Hana ASIPnya sebanyak 10 kantung selama Hana berada di rumah sakit. Setelah Hana pulih, kami memutuskan untuk pindah rumah sehingga aku dapat lebih tenang melakukan relaktasi. Tetapi ternyata pindah rumah tidak semudah yang kubayangkan, walau tidak ada gangguan dari pihak-pihak yang tidak mendukung ASI, namun hubungan rumah tangga kami mulai di uji setelah pindah rumah. Sehingga setelah Hana berusia 6 bulan depresiku semakin bertambah parah. Apa yang salah, ASIku semakin banyak tetapi ternyata aku dan suami mulai suka bertengkar. Hingga ahirnya halusinasi pendengaran itu datang. Aku mulai mendengar suara-suara yang mengatakan bahwa aku adalah ibu yang jahat, ibu yang gagal, ibu yang buruk karena tidak bisa ASI Eksklusif, tidak bisa mengurus anak dengan baik, penampilanku yang gemuk membuatku minder sebagai istri sehingga aku berkesimpulan bahwa suamiku tidak mencintaiku lagi. Aku mulai membencinya dan menolak bercinta dengannya. Selain itu aku juga mengisolasi diriku dari lingkungan, insomnia parah dan sensitif.

          Ketika Hana berusia 9 bulan aku pernah jalan sendirian bersamanya setelah adzan Maghrib. Aku hanya memakai jilbab seadanya dan Hana tidak aku pakaikan selimut hanya kaos panjang, padahal saat itu hujan gerimis datang. Aku mendengar suara yang menyuruhku untuk memberikan Hana kepada orang lain sedangkan aku bunuh diri di danau tidak jauh dari rumahku. Namun syukurlah, aku tidak jadi ke danau tersebut, dan aku melangkah pergi entah kemana sambil menggendong Hana. Suamikupun datang menjemputku di sebuah pertokoan di depan perkomplekan rumahku, ini terjadi 2 kali.

        Kejadian terburuk dari depresi paska melahirkan dan postpartum psikosisku adalah keinginanku untuk  self injury dan bunuh diri, ketika depresi itu datang aku mulai melukai telapak tanganku dengan gunting, Kami bertengkar hebat karena suamiku sudah jenuh dengan depresiku. Aku ambil handphone dan menawarkan Hana ke teman-temanku di facebook. Setelah itu aku meminum segelas cairan pembersih lantai. Suamiku yang menemukanku setengah sadar langsung meminumkanku segelas susu hangat, kemudian aku muntah dan mengeluarkan cairan tersebut dari perutku.
Melihat semua statusku yang mengerikan di fb, akhirnya seorang teman baik memasukan aku ke grup Peduli Trauma yaitu komunitas yang dibentuk oleh pak Supriyatno untuk membantu orang-orang untuk pulih dari trauma di masa lalunya.

This Support Group Was My Hero: Aku mulai Melihat Cahaya di Dalam Kegelapan



Peduli Trauma

Kami pertama kali mengunjungi kopi darat Peduli Trauma pada bulan November 2013. Aku sangat takut ketika pertama kali bertemu mereka, aku takut disalahkan atas apa yang telah terjadi. Suamiku mengenalkan diriku pada mereka dan berkata “ Tolong bantu istriku, ia mulai depresi setelah anak kami meninggal, ia merasa sebagai ibu yang buruk dan beberapa kali ingin bunuh diri. Setelah ia memperkenalkan diri, aku mulai menangis, aku berkata pada mereka bahwa aku masih terluka dengan kematian anakku, Hana tidak bisa menggantikan posisinya dan aku sedih karena aku harus melahirkan anak perempuan bukan anak laki-laki, yang kini  ketahui bahwa ini bukan masalah gender tetapi karena aku memiliki depresi paska melahirkan yang membuatku tidak bisa melihat rasa cintaku pada Hana dan berasumsi bahwa Hana adalah putraku yang meninggal. Salah satu kontributor Peduli Trauma, ibu Emma Nalapraya sangat membantuku dalam mengatasi hubungan pernikahanku yang hampir berujung pada sebuah perceraian.

Kami menghadiri pertemuan di Peduli Trauma sebanyak 5 kali. Pak Supriyatno pernah dihubungi suamiku karena aku ingin bunuh diri lagi. Syukurlah pak Supiyatno dapat menenangkan suamiku, Ia menyarankan supaya kami jalan-jalan keluar untuk berbicara secara baik-baik. Selain itu, Ia memperkenalkanku dengan seorang Hypnotherapist.
Hypnotherapistku membantuku untuk memaafkan masa laluku, orang-orang yang menyakitiku serta diriku sendiri. Beliau membukakan mataku bahwa aku bukanlah pembunuh putraku, bahwa ini bukanlah kesalahanku dan bukan salah siapa-siapa, ini merupakan takdir yang harus aku jalani. Beliau juga mengajarkanku EFT (Emotional Freedom Technique). EFT dan hypnoterapi sangat  membantuku, emosiku mulai terkendali, tidak insomnia dan tidak bermimpi buruk yang sama lagi. Sampai sekarang aku masih menerapkan EFT jika moodku sedang jelek. 

 Ketika aku menjalani masa-masa yang sulit, Hana memeluk dan menciumku tanpa sebab yang jelas, Hana memanggilku “Mama” untuk yang pertama kalinya. Aku menangis haru mendengarnya dan berkata “Ya, aku adalah mamamu Hana, Mama telah kembali Hana, aku akan melakukan apapun untuk melihat senyummu dan mendengar suaramu yang lucu itu, mama akan memperbaikinya, mama akan menjadi mama yang bahagia, kamu adalah alasan aku untuk hidup dan kamu telah dikirim Tuhan dari syurga untuk menemaniku.

Setelah itu kami memutuskan untu mengunjungi Psikolog pada tahun 2014 di sebuah biro konsultasi. Psikolog saya waktu itu hanya bilang bahwa saya mengalami gejala-gejala depresi. Aku pun tidak puas dengan hasil yang mereka berikan dan kami memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikolog lain. Psikolog yang saya baru temui tahun 2015 ini mengatakan bahwa apa yang dulu saya alami bukan saja depresi paska melahirkan tapi postpartum psikosis. Postpartum psikosis berbeda dengan depresi paska melahirkan karena PPP membuatku telah mendengar suara-suara tidak nyata yang membuatku melakukan upaya bunuh diri. Psikologku yang sekarang juga sangat bahagia dengan pencapaian kondisi jiwaku. Sedikit demi sedikit aku mulai mengakui depresiku dan stigma yang beredar di masyarakat, Aku sering berbincang-bincang dengan psikologku bahwa aku tidaklah gila. Tentu saja bukan. Psikologku berkata bahwa aku perlu bersyukur karena dianugerahi suami yang baik, sabar dan selalu bersedia menemaniku ke Peduli Trauma,  Terapist dan Psikolog. Suamiku tidak sempurna, kami pernah melukai satu sama lain, namun tanpa bantuannya mungkin aku sudah mati bunuh diri sekarang.

Alhamdulillah. Lama kelamaan kabut itu hilang. Semenjak Juni 2014 sampai sekarang aku tidak pernah mendengar suara-suara aneh lagi, aku tidak pernah lagi melakukan self injury ataupun bunuh diri. Aku mulai berjalan-jalan keluar dan berteman dengan tetangga. Aku tidak lagi mengalami insomnia, sekarang aku dapat tidur minimal 6 jam sehari. Hubunganku  dengan suami membaik, kami jarang berkelahi dan minatku untuk berhubungan intim dengannya kembali lagi, aku mulai jatuh cinta padanya sama seperti kami pertama kali bertemu. Dan yang pasti, aku  semakin mencintai Hana, sayang sekali, bahkan aku sering mencium mulutnya yang bau dipagi hari dengan senang hati serta bonus ASI yang lumayan banyak hingga sekarang ia berusia 2.5 tahun. Aku rasa inilah jalan yang dibukakan Allah untukku, sebuah jawaban atas do'a-do'a yang aku panjatkan selama ini; aku hanya ingin menjadi ibu yang bahagia.

Aku telah memaafkan diriku sendiri atas kematian putraku. Aku mencintai mereka berdua bedanya sekarang aku mencintai dia dalam kedamaian tanpa menyakiti diriku lagi dan aku mencintai Hana sebagai anak perempuan bukan anak laki-laki. Aku pikir, hai, menyenangkan sekali mempunyai anak perempuan, aku bisa menandaninya, membelikannya boneka seperti yang dulu ibuku lakukan untukku. Aku mengalami sedikit memory loss, aku tidak ingat persis kapan Hana merangkak n berjalan, tapi tidak apa-apa, aku akan mengenang masa-masa indah yang terlewat itu melalui sebuah album foto.

            Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini masih ada kelompok orang baik hati yang peduli denganku padahal aku bukan anggota keluarga mereka. Aku masih berhubungan baik dengan mereka, kapanpun aku mau, aku bisa menghubungi dan bertemu dengan mereka. Dan aku tidak malu mengakui  bahwa aku masih membutuhkan bantuan psikolog maupun terapist guna menyempurnakan masa-masa recoveryku.

Di awal tahun 2015, dalam rangka membantu para ibu yang bernasib sama denganku, aku menemukan Postpartum Support International (PSI). PSI merupakan sebuah organisasi internasional yang didirikan oleh Jane Honikman di California pada tahun 1987 untuk memberikan dukungan kepada ibu, ayah maupun keluarga yang mengalami Perinatal Mood Disorders seperti postpartum depression, postpartum psikosis, postpartum anxiety, panic attack, PTSD dsb. Akupun memperkenalkan diriku kepada Wendy Davis,PhD, Eksekutif Direktur PSI. Melalui kebaikan hatinya aku dapat mengikuti webinar gratis dari bulan Januari-Juni 2015 dengan para pembicara yang luar biasa profesional di Amerika Serikat.  
Dengan panduan dari PSI, aku dan pak Supriyatno memutuskan untuk mendirikan Peduli Kesehatan Jiwa Ibu Perinatal Indonesia pada bulan Februari 2015. Step by step kami akan berusaha untuk memberikan dukungan secara sosial kepada para ibu, ayah dan keluarga dengan depresi paska melahirkan, dsb. 






PSI


            Terima kasih Peduli Trauma, terapist, psikolog, suami, sahabat-sahabatku, serta  Postpartum Support International, kini aku bisa menjadi manusia seutuhnya tanpa minder dan malu berlebihan seperti dulu, aku bisa menjalankan peranku sebagai seorang ibu serta istri dengan baik. Kabut itu telah menghilang dan kini aku dapat melihat dengan jelas bunga-bunga yang indah serta pelangi yang menghiasi hidupku, aku tidak pernah benar-benar membenci Hana, hanya saja aku dibutakan oleh depresi paska melahirkan yang aku alami selama ini. 


Setiap pagi sambil duduk di teras, aku memberikan afirmasi positif kepada diriku sendiri seperti:

"Aku memaafkan diriku atas kematian putraku"
"Aku memaafkan diriku karena aku tidak bisa melahirkan Hana dengan normal"
"Aku memaafkan diriku karena tidak bisa ASI Eksklusif"
"Aku memaafkan diriku karena badanku yang gemuk"
"Aku memaafkan diriku karena tidak dapat menikmati masa-masa 1 tahun paska melahirkan Hana"
"Aku memaafkan diriku yang pernah bunuh diri"
"Aku mencintai diriku sendiri"