Kabut Itu Bernama Postpartum Depression
By : Yana Bunda Hana
“Menikah dengan laki-laki
yang mencintaiku lalu mempunyai seorang anak adalah impianku semenjak gadis.
Hidup bahagia sebagai ibu rumah tangga, menyusui buah hatiku, mengurus rumah
serta memasak makan malam ketika suamiku pulang kerja. Impianku begitu
sederhana,seperti dongeng-dongeng karya Walt Disney, live happily ever after. Tetapi
sayangnya kenyataan tidak seindah harapan, alih-alih bahagia, memiliki seorang
bayi merupakan sebuah mimpi buruk bagiku. Aku bahkan lebih mirip zombie
daripada seorang ibu. Ya, aku kehilangan tahun-tahun pertamaku yang seharusnya
menjadi kenangan indah sebagai seorang ibu karena depresi paska melahirkan. Aku
namai kabut itu dengan sebutan Postpartum Depression.”
Selamat Tinggal, Nak
Selamat Tinggal, Nak
Aku
menikah tahun 2009. 5 tahun yang lalu aku adalah seorang guru percakapan bahasa
Inggris untuk anak-anak TK, SD dan karyawan. Aku sangat mencintai murid-muridku
begitu juga mereka. Aku menganggap mereka sebagai anak-anakku karena pada saat
itu aku belum mempunyai anak sendiri. Aku berencana untuk resign jika aku
mengandung. Keinginanku terwujud, pada tahun 2011, aku menemukan tes
kehamilanku menunjukan 2 garis dan keesokan harinya aku memberikan surat
pengunduran diri kepada Managerku, meninggalkan murid-murid kesayanganku guna
fokus pada kehamilan yang ku nantikan selama ini.
Aku
menjalani kehamilanku dengan sukacita walau kadang aku suka merasa sedih dan
cemas berlebihan. Aku menulis semua pertumbuhan janinku dari bulan kebulan di
sebuah diary khusus. Aku mulai mencintai janin dalam perutku dan aku sungguh
tidak sabar ingin menggendongnya. Tiba-tiba
saja aku merasakan kesedihan yang luar
biasa ketika perutku tidak membesar seperti ibu hamil lainnya, saat itu aku
telah hamil 6.5 bulan. Sudah lebih dari sepekan janin yang ada dalam
kandunganku tidak bergerak seperti
biasanya, seminggu yang lalu aku telah kontrol ke bidan dan detak jantungnya
baik-baik saja. Namun dalam hatiku terdapat sebuah firasat yang tidak dapat ku
gambarkan. Karena khawatir, hari itu selasa 13 Desember 2011, aku memeriksakan
kandunganku bersama suamiku. Aku mendapat nomer antrian ke 4.seperti biasa, perawat
menimbang berat badanku. Anehnya berat badanku tetap sama dengan sebulan yang
lalu.
Aku dan suami memasuki ruangan dokter Tri seperti biasanya, sebelum di periksa dengan USG, dokter Tri mengeluhkan bentuk perutku yang sangat kecil.Dan pemeriksaannya pun di mulai. Betapa kaget dan pucatnya dr Tri ketika ia tidak dapat menemukan detak jantung anak dalam kandunganku. Dengan terbata-bata ia mengatakan pada ku dan suamiku bahwa “ maaf Ibu Yana, saya sangat menyesal, saya tidak dapat menemukan detak jantung anak ibu, apakah ibu jatuh?, aku bilang tidak.
“Ada apa dok?, tanyaku cemas
dan pilu, dr Tri menjawab “Anak ibu telah meninggal dalam kandungan”
“masa dok. Coba cari lagi detak jantungnya”
“maaf bu, saya sudah mencobanya berkali-kali”
“saya menyarankan ibu untuk memeriksakan kembali dirumah sakit besar untuk second opinion, siapa tahu mesin USG di sini rusak.
“Aku tidak percaya saat itu dan keluar dari ruangan dokter sekan dunia akan runtuh, kakiku seakan tidak bisa berdiri, nafasku berhenti, kepiluan yang amat sangat, membuatku ingin mati saja bersamanya”
Aku pernah mendengar tentang keguguran tapi aku tidak pernah tahu IUFD itu apa. Aku pikir setelah melewati trimester pertama maka kandunganku akan baik-baik saja. Aku mati rasa, seakan-akan separuh jiwaku pergi bersamanya, aku tidak percaya atas apa yang menimpaku. Ini bagaikan sebuah mimpi buruk. Bangunkan aku, bangunkan aku!. Tapi tidak, ini sungguh terjadi. Hatiku hancur saat itu. Aku berteriak dan histeris di rumah sakit. Dokter Anita memintaku untuk segera diinduksi supaya anak ini bisa segera dikeluarkan dan aku tidak keracunan karenanya. Aku berkata pada suamiku “ Jangan keluarkan anak ini, ia masih hidup..ia masih ada”
“masa dok. Coba cari lagi detak jantungnya”
“maaf bu, saya sudah mencobanya berkali-kali”
“saya menyarankan ibu untuk memeriksakan kembali dirumah sakit besar untuk second opinion, siapa tahu mesin USG di sini rusak.
“Aku tidak percaya saat itu dan keluar dari ruangan dokter sekan dunia akan runtuh, kakiku seakan tidak bisa berdiri, nafasku berhenti, kepiluan yang amat sangat, membuatku ingin mati saja bersamanya”
Aku pernah mendengar tentang keguguran tapi aku tidak pernah tahu IUFD itu apa. Aku pikir setelah melewati trimester pertama maka kandunganku akan baik-baik saja. Aku mati rasa, seakan-akan separuh jiwaku pergi bersamanya, aku tidak percaya atas apa yang menimpaku. Ini bagaikan sebuah mimpi buruk. Bangunkan aku, bangunkan aku!. Tapi tidak, ini sungguh terjadi. Hatiku hancur saat itu. Aku berteriak dan histeris di rumah sakit. Dokter Anita memintaku untuk segera diinduksi supaya anak ini bisa segera dikeluarkan dan aku tidak keracunan karenanya. Aku berkata pada suamiku “ Jangan keluarkan anak ini, ia masih hidup..ia masih ada”
Suami
dan keluargaku mencoba untuk menenangkan aku saat itu, mereka berkata bahwa aku
masih sangat muda untuk mempunyai anak lagi, anak laki-lakiku sudah tenang
disana. Ketakutan itu muncul lagi ketika aku hendak di beri tindakan induksi.
Aku mendadak keluar dari ruangan kuretase dan berdiri di dekat sebuah jendela,
aku takut melihat para ibu yang silih berganti di kuret, suara-suara gunting,
pisau itu membuatku sangat merinding. Aku bahkan berpikir untuk lompat dari
jendela rumah sakit saat itu juga menyusul kepergian putraku. Syukurlah dokter
Anita yang menanganiku menenangkanku, memeluk dan memapahku untuk kembali ke
tempat tidur. Akhirnya setelah berjuang selama 3 hari, putraku yang ku beri
nama Muhammad Fauzan lahir ke dunia ini, sayang sekali bidan yang menangani
kelahiranku dengan spontan tidak memperbolehkanku memeluk anakku karena kondisi
jiwaku yang sangat labil. Putraku yang tidak pernah kulihat dan ku sentuh harus
segera dimakamkan. Sedangkan aku masih sangat lemah sehabis melahirkan.
Setelah
pulang dari rumah sakit aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak hamil lagi.
Aku berpikir ini adalah sebuah hukuman dan ini merupakan kesalahanku. Aku
mengutuk diriku sendiri sebagai seorang ibu yang tidak bisa menjaga anak di
dalam kandunganku. Sayangnya keluarga dan tetanggaku tidak terlalu mengerti.
Mereka ingin aku untuk move on sesegera mungkin. Untuk menghilangkan kenangan
bersama putraku, aku memilih untuk pindah rumah dari kediaman orangtuaku dan
memilih tinggal disebuah rumah kontrakan. Mencoba untuk hidup normal kembali. Kerabatku
terkadang mampir ke rumah kami untuk melihat kondisiku dan mereka berkata bahwa
aku sudah mulai bangkit. Mereka tidak tahu bahwa di tengah malam, aku masih
sering bermimpi buruk yang sama tentang ruangan dan peralatan kuret di rumah
sakit dan memanggil-manggil nama putraku ketika aku terbangun dari tidur, serta
memeluk guling seakan-akan dia adalah putraku sendiri. Suamiku selalu
mendampingiku di saat sulit ini, aku juga tahu bahwa ia juga kehilangan, hanya
saja ia tidak pernah menunjukan kesedihannya. Pada suatu hari di dapur, aku
memergoki ia menangis dan aku bertanya padanya “ Kenapa kamu menangis Ayah?,”,
kemudian ia menjawab “aku juga sedih atas kematian anak kita tapi aku harus
terlihat kuat untuk mendampingiku, aku mohon berhentilah menghakimi dirimu
sendiri, ini bukan salahmu dan ini bukan salah siapa-siapa, jangan sakiti dirimu
lagi”. Guna membuatnya tidak kecewa, aku berpura-pura di depannya, aku akan
menangis jika ia berada di kantor.
3
bulan kemudian aku menemukan 2 garis di tes kehamilanku, aku sangat bahagia
saat itu, satu hari setelah itu aku mengalami sesuatu yang aku pikir adalah
pendarahan yang hebat dan aku sangat terpukul dan membayangkan diriku akan
kembali di kuret untuk kedua kalinya. Kami berdua langsung menuju rumah sakit
untuk memeriksakan kandunganku. Aku sangat terkejut ketika dr kandungan
mengatakan bahwa aku tidak hamil setelah di periksa dengan USG. Ia mengatakan
ini sebagai kehamilan palsu atau pseudopregnancy. Menurutnya hal ini
bisa terjadi lantaran diriku yang sangat ingin mempunyai anak. Pendarahan yang
terjadi padaku merupakan menstruasi biasa. Guna mempunyai anak lagi kami
mengikuti saran dari doketr termasuk test TORCH ACA, operasi gigi hingga
meminum suplemen.
Alhamduliilah
2 bulan kemudian aku benar-benar mendapatkan kehamilan keduaku bukan hamil
palsu seperti yang kemarin menimpaku. Kami sangat gembira dan antusias sekali.
Suamiku membantuku mencuci pakaian dan berbelanja, yup sayangnya kehamilan
keduaku ini tidak berjalan lancar. Aku mendapatkan flek-flek kecil selama 3x
dan aku harus bedrest selama 2-3 bulan.
Hamil Hana |
Tinggal
sendirian di rumah kontrakan membuatku cemas berlebihan. Aku terus berpikir
bagaimana jika...dan.., takut melihat USG, takut apabila janinku meninggal
kembali dalam kandungan. Aku mengecek celana dalamku setiap jam untuk melihat
apakah ada darah atau tidak. Trimester kedua nampak lebih baik daripada
sebelumnya, aku dapat keluar jalan-jalan sendirian tanpa didampingi suamiku.
Sayangnya pada usia kehamilanku yang beranjak 34 minggu, dokter kandunganku
mengatakan bahwa plasentaku mengalami pengapuran grade 3 dan menjadi grade 4
pada usia 38 minggu. Tidak hanya pengapuran plasenta namun juga Oligohidramnion
atau kekurangan cairan ketuban. Dokter kandunganku memberikan 2 pilihan yaitu
persalinan dengan induksi, dimana hanya akan berhasil 50: 50 untuk
menyelamatkan nyawa anakku atau operasi sesar segera. Aku berkata pada suamiku
bahwa aku tidak mau melahirkan dengan cara induksi karena aku masih trauma dengan
cara tersebut dan aku tidak ingin anakku meninggal lagi, aku bisa benar-benar
gila bila hal itu terjadi untuk kedua kalinya. Melihatku sangat panik dan tidak
bisa tenang maka suamiku memutuskan untuk mengambil tindakan operasi sesar
malam itu juga. Dengan segala kesabaran dan cinta, putri cantik kami yang
bernama Hana Nabila lahir kedunia ini pada hari kamis, 17 Januari 2013, pukul
08.30 malam. Tangisannya membuat suami, orangtua dan mertuaku bergembira.
Wajahnya begitu mirip dengan suamiku dan matanya terlihat sepertiku. Ia
diletakkan sebentar di dadaku dan tidak ada IMD. Aku merasa ia masih ingin
berada di dekatku sebentar saja. Namun ada yang aneh, aku merasa hampa dan
tidak antusias atas kelahirannya. Ini merupakan impianku yang terwujud bukan,
akhirnya selama 3 tahun, tapi kenapa aku tidak bahagia atau setidaknya
tersenyum?
Welcome to The World, Hana |
Siapa
AKU?
Sekarang aku menjadi seorang new mom
dan anakku adalah new born. Semua orang tertarik padanya., tetapi aku tidak
dapat merasakan hal yang sama. Aku lelah kurang tidur, bingung dan letih
luar biasa. Belum lagi luka sesar yang membuatku sulit untuk leluasa bergerak.
Aku menangis lebih sering daripada bayiku sendiri. Aku pikir bahwa aku tidak
akan memiliki kesulitan dalam menyusui karena setelah anakku meninggal aku
menjadi ibu ASI buat keponakanku yang waktu itu berusia 5 bulan. Sayangnya aku
tidak menemui kemudahan itu ketika menyusui Hana. Kemungkinan besar karena Hana
tidak IMD dan tanpa ijinku pihak rumah sakit telah memberikan Hana susu formula
dengan menggunakan botol dot. Hana mengalami apa yang namanya bingung puting. Ramai-ramai
tetangga dan keluarga besarku menyarankan aku untuk memberi susu formula pada
Hana, bahkan bidan yang praktek di dekat rumahku menawarkan susu formula secara
terang-terangan. Suamipun saat itu tidak mendukung keputusanku untuk ngASI.
Suatu hari kami mendatangi konsultan
ASI di rumah sakit swasta, aku ingin suamiku ikut mendukung secara morill
kegigihanku untuk menyusui Hana. Apa yang terjadi sangat mengagetkanku. Dr
laktasi mengisyaratkan aku bahwa aku terkena baby blues syndrome karena pada
saat itu tanganku bergemetar memegang Hana, sangat emosional dan sedih. Tiba-tiba
saja aku teringat kakak perempuanku yang mengatakan bahwa ibu dengan baby blues
syndrome merupakan ibu yang tidak bersyukur. Oleh karena itu aku tidak
menggubris saran dari dr laktasi untuk pergi ke psikolog ataupun berbicara pada
suamiku sendiri. Aku takut orang akan beranggapan bahwa aku ibu yang gila dan
akan mengambil bayiku dari tanganku. Dengan segala daya upaya aku mencoba semua
hal supaya ASIku keluar banyak dari menyewa brestpump hingga minum obat-obatan
baik herbal maupun kimiawi. Usahakupun kurang berhasil, hingga aku meminta
bantuan AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) via telepon. Aku melihat video
di youtube bahwa seorang ibu adopsi dapat menyusui anaknya tanpa proses
kehamilan. Oleh karena itu dengan meminta bimbingan salah satu konsultan ASI
AIMI, aku mengajukan diriku untuk dibimbing menggunakan lactation AID karena
bayiku tidak mau minum melalui dot dan beratnya hanya naik sedikit. Aku berpikr
tidak apa-apa jika isi dari lactation aid tersebut adalah susu formula, aku
sudah menyerah untuk sementara ini dan mementingkan bayiku. Berat badan Hana
pun bertambah 1 kg dalam sebulan. Namun sayangnya susu sapi tidak cocok di
tubuh Hana, Hana menjadi lebih rewel, konstipasi. Akupun memutuskan untuk
mengganti susu Hana dengan susu kedelai, sayangnya kali ini tidak juga
berhasil, kulit kepala Hana menjadi mengelupas hingga diare setelah minum susu
kedelai. Pada saat Hana berumur 3 bulan, saat banjir melanda Hana harus dibawa
kerumah sakit karena dehidrasi.
Syukurlah seorang temanku memberikan
Hana ASIPnya sebanyak 10 kantung selama Hana berada di rumah sakit. Setelah
Hana pulih, kami memutuskan untuk pindah rumah sehingga aku dapat lebih tenang
melakukan relaktasi. Tetapi ternyata pindah rumah tidak semudah yang
kubayangkan, walau tidak ada gangguan dari pihak-pihak yang tidak mendukung
ASI, namun hubungan rumah tangga kami mulai di uji setelah pindah rumah.
Sehingga setelah Hana berusia 6 bulan depresiku semakin bertambah parah. Apa
yang salah, ASIku semakin banyak tetapi ternyata aku dan suami mulai suka
bertengkar. Hingga ahirnya halusinasi pendengaran itu datang. Aku mulai
mendengar suara-suara yang mengatakan bahwa aku adalah ibu yang jahat, ibu yang
gagal, ibu yang buruk karena tidak bisa ASI Eksklusif, tidak bisa mengurus anak
dengan baik, penampilanku yang gemuk membuatku minder sebagai istri sehingga
aku berkesimpulan bahwa suamiku tidak mencintaiku lagi. Aku mulai membencinya
dan menolak bercinta dengannya. Selain itu aku juga mengisolasi diriku dari
lingkungan, insomnia parah dan sensitif.
Ketika Hana berusia 9 bulan aku
pernah jalan sendirian bersamanya setelah adzan Maghrib. Aku hanya memakai
jilbab seadanya dan Hana tidak aku pakaikan selimut hanya kaos panjang, padahal
saat itu hujan gerimis datang. Aku mendengar suara yang menyuruhku untuk
memberikan Hana kepada orang lain sedangkan aku bunuh diri di danau tidak jauh
dari rumahku. Namun syukurlah, aku tidak jadi ke danau tersebut, dan aku
melangkah pergi entah kemana sambil menggendong Hana. Suamikupun datang
menjemputku di sebuah pertokoan di depan perkomplekan rumahku, ini terjadi 2 kali.
Kejadian terburuk dari depresi paska
melahirkan dan postpartum psikosisku adalah keinginanku untuk self injury dan bunuh diri, ketika depresi itu
datang aku mulai melukai telapak tanganku dengan gunting, Kami bertengkar hebat
karena suamiku sudah jenuh dengan depresiku. Aku ambil handphone dan menawarkan
Hana ke teman-temanku di facebook. Setelah itu aku meminum segelas cairan
pembersih lantai. Suamiku yang menemukanku setengah sadar langsung meminumkanku
segelas susu hangat, kemudian aku muntah dan mengeluarkan cairan tersebut dari
perutku.
Melihat semua statusku yang mengerikan di fb, akhirnya seorang teman baik memasukan aku ke grup Peduli Trauma yaitu komunitas yang dibentuk oleh pak Supriyatno untuk membantu orang-orang untuk pulih dari trauma di masa lalunya.
This Support Group Was My Hero: Aku mulai Melihat Cahaya di Dalam Kegelapan
Melihat semua statusku yang mengerikan di fb, akhirnya seorang teman baik memasukan aku ke grup Peduli Trauma yaitu komunitas yang dibentuk oleh pak Supriyatno untuk membantu orang-orang untuk pulih dari trauma di masa lalunya.
This Support Group Was My Hero: Aku mulai Melihat Cahaya di Dalam Kegelapan
Peduli Trauma |
Kami pertama kali
mengunjungi kopi darat Peduli Trauma pada bulan November 2013. Aku sangat
takut ketika pertama kali bertemu mereka, aku takut disalahkan atas apa yang
telah terjadi. Suamiku mengenalkan diriku pada mereka dan berkata “ Tolong
bantu istriku, ia mulai depresi setelah anak kami meninggal, ia merasa
sebagai ibu yang buruk dan beberapa kali ingin bunuh diri. Setelah ia
memperkenalkan diri, aku mulai menangis, aku berkata pada mereka bahwa aku masih terluka dengan kematian anakku,
Hana tidak bisa menggantikan posisinya dan aku sedih karena aku harus
melahirkan anak perempuan bukan anak laki-laki, yang kini ketahui bahwa ini bukan masalah gender tetapi
karena aku memiliki depresi paska melahirkan yang
membuatku tidak bisa melihat rasa
cintaku pada Hana dan berasumsi bahwa Hana adalah putraku yang meninggal. Salah
satu kontributor Peduli Trauma, ibu Emma Nalapraya sangat membantuku dalam
mengatasi hubungan pernikahanku yang hampir berujung pada sebuah perceraian.
Kami menghadiri pertemuan di Peduli
Trauma sebanyak 5 kali. Pak Supriyatno pernah dihubungi suamiku karena aku
ingin bunuh diri lagi. Syukurlah pak Supiyatno dapat menenangkan suamiku, Ia
menyarankan supaya kami jalan-jalan
keluar untuk berbicara secara baik-baik. Selain itu, Ia memperkenalkanku dengan
seorang Hypnotherapist.
Hypnotherapistku
membantuku untuk memaafkan masa laluku, orang-orang yang menyakitiku serta
diriku sendiri. Beliau membukakan mataku bahwa aku bukanlah pembunuh putraku,
bahwa ini bukanlah kesalahanku dan bukan salah siapa-siapa, ini merupakan
takdir yang harus aku jalani. Beliau juga mengajarkanku EFT (Emotional Freedom
Technique). EFT dan hypnoterapi sangat
membantuku, emosiku mulai terkendali, tidak insomnia dan tidak bermimpi
buruk yang sama lagi. Sampai sekarang aku masih menerapkan EFT jika moodku sedang jelek.
Ketika aku menjalani masa-masa yang sulit,
Hana memeluk dan menciumku tanpa sebab yang jelas, Hana memanggilku “Mama” untuk yang
pertama kalinya. Aku menangis haru mendengarnya dan berkata “Ya, aku adalah
mamamu Hana, Mama telah kembali Hana, aku akan melakukan apapun untuk melihat
senyummu dan mendengar suaramu yang lucu itu, mama akan memperbaikinya, mama
akan menjadi mama yang bahagia,
kamu adalah alasan aku untuk hidup dan kamu telah dikirim Tuhan dari syurga untuk
menemaniku.
Setelah itu kami memutuskan untu mengunjungi
Psikolog pada tahun 2014 di sebuah biro konsultasi. Psikolog saya waktu itu
hanya bilang bahwa saya mengalami gejala-gejala depresi. Aku pun tidak puas
dengan hasil yang mereka berikan dan kami memutuskan untuk berkonsultasi dengan
psikolog lain. Psikolog yang saya baru temui tahun 2015 ini mengatakan bahwa
apa yang dulu saya alami bukan saja depresi paska melahirkan tapi postpartum
psikosis. Postpartum psikosis berbeda dengan depresi paska melahirkan karena
PPP membuatku telah mendengar suara-suara tidak nyata yang membuatku
melakukan upaya bunuh diri. Psikologku yang sekarang juga sangat bahagia
dengan pencapaian kondisi jiwaku. Sedikit demi sedikit aku mulai mengakui
depresiku dan stigma yang beredar di masyarakat, Aku sering berbincang-bincang
dengan psikologku bahwa aku tidaklah gila. Tentu saja bukan. Psikologku berkata
bahwa aku perlu bersyukur karena dianugerahi suami yang baik, sabar dan selalu
bersedia menemaniku ke Peduli Trauma, Terapist dan Psikolog. Suamiku tidak sempurna,
kami pernah melukai satu sama lain, namun tanpa bantuannya mungkin aku sudah
mati bunuh diri sekarang.
Alhamdulillah. Lama kelamaan kabut itu
hilang. Semenjak Juni 2014 sampai sekarang aku tidak pernah mendengar
suara-suara aneh lagi, aku tidak pernah lagi melakukan self injury ataupun
bunuh diri. Aku mulai berjalan-jalan keluar dan berteman dengan tetangga. Aku tidak lagi mengalami insomnia, sekarang aku dapat tidur minimal 6 jam sehari.
Hubunganku dengan suami membaik, kami jarang berkelahi dan minatku untuk
berhubungan intim dengannya kembali lagi, aku mulai jatuh cinta padanya sama
seperti kami pertama kali bertemu. Dan yang pasti, aku semakin mencintai Hana,
sayang sekali, bahkan aku sering mencium mulutnya yang bau dipagi hari dengan
senang hati serta bonus ASI yang lumayan banyak hingga sekarang ia berusia 2.5
tahun. Aku rasa inilah jalan yang dibukakan Allah untukku, sebuah jawaban atas do'a-do'a yang aku panjatkan selama ini; aku hanya ingin menjadi ibu yang bahagia.
Aku telah memaafkan diriku sendiri atas
kematian putraku. Aku mencintai mereka berdua bedanya sekarang aku
mencintai dia dalam kedamaian tanpa menyakiti diriku lagi dan aku mencintai
Hana sebagai anak perempuan bukan anak laki-laki. Aku pikir, hai, menyenangkan
sekali mempunyai anak perempuan, aku bisa menandaninya, membelikannya boneka
seperti yang dulu ibuku lakukan untukku. Aku mengalami sedikit memory loss, aku
tidak ingat persis kapan Hana merangkak n berjalan, tapi tidak apa-apa, aku
akan mengenang masa-masa indah yang terlewat itu melalui sebuah album foto.
Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini masih ada kelompok orang baik hati yang peduli denganku padahal aku bukan anggota keluarga mereka. Aku masih berhubungan baik dengan mereka, kapanpun aku mau, aku bisa menghubungi dan bertemu dengan mereka. Dan aku tidak malu mengakui bahwa aku masih membutuhkan bantuan psikolog maupun terapist guna menyempurnakan masa-masa recoveryku.
Aku tidak menyangka bahwa di dunia ini masih ada kelompok orang baik hati yang peduli denganku padahal aku bukan anggota keluarga mereka. Aku masih berhubungan baik dengan mereka, kapanpun aku mau, aku bisa menghubungi dan bertemu dengan mereka. Dan aku tidak malu mengakui bahwa aku masih membutuhkan bantuan psikolog maupun terapist guna menyempurnakan masa-masa recoveryku.
Di awal tahun 2015, dalam rangka membantu
para ibu yang bernasib sama denganku, aku menemukan Postpartum Support
International (PSI). PSI merupakan sebuah organisasi internasional yang didirikan
oleh Jane Honikman di California pada tahun 1987 untuk memberikan dukungan
kepada ibu, ayah maupun keluarga yang mengalami Perinatal Mood Disorders
seperti postpartum depression, postpartum psikosis, postpartum anxiety, panic
attack, PTSD dsb. Akupun memperkenalkan diriku kepada Wendy Davis,PhD,
Eksekutif Direktur PSI. Melalui kebaikan hatinya aku dapat mengikuti webinar gratis
dari bulan Januari-Juni 2015 dengan para pembicara yang luar biasa profesional
di Amerika Serikat.
Dengan panduan dari PSI, aku dan pak
Supriyatno memutuskan untuk mendirikan Peduli Kesehatan Jiwa Ibu Perinatal
Indonesia pada bulan Februari 2015. Step by step kami akan berusaha untuk
memberikan dukungan secara sosial kepada para ibu, ayah dan keluarga dengan depresi
paska melahirkan, dsb.
Terima kasih Peduli Trauma, terapist, psikolog, suami, sahabat-sahabatku, serta Postpartum Support International, kini aku bisa menjadi manusia seutuhnya tanpa minder dan malu berlebihan seperti dulu, aku bisa menjalankan peranku sebagai seorang ibu serta istri dengan baik. Kabut itu telah menghilang dan kini aku dapat melihat dengan jelas bunga-bunga yang indah serta pelangi yang menghiasi hidupku, aku tidak pernah benar-benar membenci Hana, hanya saja aku dibutakan oleh depresi paska melahirkan yang aku alami selama ini.
Setiap pagi sambil duduk di teras, aku memberikan afirmasi positif kepada diriku sendiri seperti:
"Aku memaafkan diriku atas kematian putraku"
"Aku memaafkan diriku karena aku tidak bisa melahirkan Hana dengan normal"
"Aku memaafkan diriku karena tidak bisa ASI Eksklusif"
"Aku memaafkan diriku karena badanku yang gemuk"
"Aku memaafkan diriku karena tidak dapat menikmati masa-masa 1 tahun paska melahirkan Hana"
"Aku memaafkan diriku yang pernah bunuh diri"
"Aku mencintai diriku sendiri"
PSI |
Terima kasih Peduli Trauma, terapist, psikolog, suami, sahabat-sahabatku, serta Postpartum Support International, kini aku bisa menjadi manusia seutuhnya tanpa minder dan malu berlebihan seperti dulu, aku bisa menjalankan peranku sebagai seorang ibu serta istri dengan baik. Kabut itu telah menghilang dan kini aku dapat melihat dengan jelas bunga-bunga yang indah serta pelangi yang menghiasi hidupku, aku tidak pernah benar-benar membenci Hana, hanya saja aku dibutakan oleh depresi paska melahirkan yang aku alami selama ini.
Setiap pagi sambil duduk di teras, aku memberikan afirmasi positif kepada diriku sendiri seperti:
"Aku memaafkan diriku atas kematian putraku"
"Aku memaafkan diriku karena aku tidak bisa melahirkan Hana dengan normal"
"Aku memaafkan diriku karena tidak bisa ASI Eksklusif"
"Aku memaafkan diriku karena badanku yang gemuk"
"Aku memaafkan diriku karena tidak dapat menikmati masa-masa 1 tahun paska melahirkan Hana"
"Aku memaafkan diriku yang pernah bunuh diri"
"Aku mencintai diriku sendiri"